Selasa, 22 Oktober 2024

Professor Stella Christy : Anak-anak dan AI


Halo semuanya, saya Stella Christy, Associate Professor di Universitas Tsinghua. Sebagai profesor, saya suka memulai kelas dengan sebuah pertanyaan. Jadi, menurut kalian, siapa yang lebih pintar, anak-anak atau kecerdasan buatan (AI)? Mungkin sebagian besar orang akan mengatakan bahwa AI lebih pintar karena anak berusia dua tahun belum memahami banyak hal. Namun sebenarnya, para ilmuwan AI berharap agar AI bisa secerdas anak-anak. Mengapa demikian? Hari ini, saya ingin berbagi penelitian saya mengenai mengapa anak-anak sebenarnya lebih pintar dibandingkan AI.

Banyak orang mengira saya meneliti kognisi anak karena saya sangat menyukai anak-anak, padahal tidak begitu, meskipun saya memiliki anak sendiri. Saya lebih tertarik pada asal-usul pikiran manusia, dan untuk memahami ini, kita perlu melihat anak-anak. Ada tiga perbedaan utama antara anak-anak dan AI.

Pertama, AI seperti AlphaGo memang pintar karena berhasil mengalahkan juara dunia Go. Namun, jika kita mengubah aturan permainannya, AlphaGo tidak akan bisa beradaptasi dengan cepat, sedangkan anak-anak dengan cepat bisa belajar aturan baru dan menyesuaikannya. Jadi, anak-anak lebih adaptif daripada AI.

Kedua, anak-anak belajar dengan menggunakan data kecil. Mereka bisa mengenali bola hanya dengan melihat beberapa benda. Sebaliknya, AI membutuhkan data besar dan banyak contoh untuk mengenali benda, bahkan masih bisa membuat kesalahan. Misalnya, ada berita menarik di mana AI salah mengenali kepala wasit sebagai bola dalam pertandingan sepak bola. Anak-anak tidak akan membuat kesalahan seperti itu.

Ketiga, anak-anak bisa mengenali pola yang tidak jelas, seperti kapan harus mengucapkan terima kasih, yang sulit bagi AI. AI bisa diprogram untuk mengatakan "terima kasih", tetapi tidak tahu dalam konteks apa harus mengucapkannya. Sementara anak-anak bisa mempelajarinya dari interaksi sosial.

Setelah mengenali pola, langkah selanjutnya adalah menerapkannya untuk memecahkan masalah baru, kemampuan ini disebut pemikiran analogi. Banyak penemuan besar, seperti yang dilakukan Niels Bohr dan inovasi Google, berasal dari pemikiran analogi. Anak-anak secara alami memiliki kemampuan ini, dan kami di laboratorium berusaha memahami bagaimana pemikiran ini berkembang pada mereka. Kami melakukan eksperimen dengan anak-anak di laboratorium kami di Universitas Tsinghua untuk mempelajari pemikiran analogi mereka.

Misalnya, kami memberikan gambar dan meminta anak-anak untuk menemukan gambar yang sesuai berdasarkan pola. Awalnya, mereka memilih secara acak, tetapi setelah diberi perbandingan, kebanyakan anak-anak bisa mengenali pola yang cocok. Ini menunjukkan bahwa perbandingan bisa memicu pemikiran analogi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran analogi sangat membantu dalam belajar bahasa, sosial, dan matematika. Anak-anak yang diberi kesempatan untuk membandingkan pola, seperti melalui analogi, lebih cepat memahami konsep-konsep baru. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memberikan lebih banyak kesempatan bermain kepada anak-anak, karena saat bermain, mereka sering mendapat kesempatan untuk membandingkan.

Anak-anak yang diberi kesempatan bermain memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi. Namun, di banyak tempat, anak-anak mungkin tidak punya cukup waktu untuk bermain karena terlalu sibuk dengan tugas sekolah. Selain itu, lingkungan bermain sering kali tidak mendukung kebebasan eksplorasi anak-anak. Misalnya, ada nenek yang melarang anak-anak bermain karena alasan keamanan. Ini membatasi kesempatan mereka untuk belajar melalui bermain.

Impian saya adalah menciptakan lingkungan di mana anak-anak bisa bebas mengeksplorasi dan meningkatkan pemikiran analogi mereka. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan, kita bisa merancang lingkungan belajar yang mendukung eksplorasi ini, baik di luar ruangan maupun di dalam rumah. Percakapan sehari-hari dengan anak-anak juga bisa dirancang untuk mendorong pemikiran analogi, seperti dengan menggunakan perbandingan dalam menjawab pertanyaan mereka.

Anak-anak saya tidak mengikuti kelas tambahan, tetapi mereka sudah mendapatkan banyak kesempatan untuk belajar melalui perbandingan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dengan menggunakan tiga bahasa: Indonesia, Polandia, dan Mandarin. Belajar bahasa yang berbeda memberi mereka banyak kesempatan untuk membandingkan dan memicu pemikiran analogi.

Akhirnya, inovasi dan penemuan berasal dari pemikiran analogi, bukan dari AI. Pemikiran analogi tidak bisa diajarkan, tetapi bisa dipicu dan didorong melalui perbandingan, bermain, dan percakapan sehari-hari. Inilah hal-hal yang bisa dilakukan setiap keluarga di rumah untuk membantu anak-anak mereka mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang tidak pasti.

Pandemi ini mengingatkan kita bahwa dunia penuh dengan ketidakpastian. Tidak ada yang tahu bagaimana dunia akan terlihat dua puluh tahun dari sekarang. Tetapi dengan mengembangkan pemikiran analogi, anak-anak kita akan siap menghadapi tantangan apa pun yang akan datang. Saya berharap anak saya, seperti layang-layang yang tetap terhubung dengan saya, akan memiliki kebebasan untuk terbang di langitnya sendiri. Bagaimana dengan kalian? Terima kasih semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar