Senin, 21 Oktober 2024

Koalisii Prabowo



Prabowo Subianto bergabung dalam kabinet Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 sebagai Menteri Pertahanan. Ada beberapa alasan yang kemungkinan mendorong keputusan Prabowo untuk bergabung, meskipun pada Pemilu 2019 ia adalah rival Jokowi. Beberapa alasan tersebut antara lain:

1. Rekonsiliasi Politik: 
Setelah Pemilu 2019 yang cukup panas, Jokowi dan Prabowo memilih jalur rekonsiliasi politik untuk menurunkan ketegangan dan polarisasi yang terjadi di masyarakat. Dengan bergabungnya Prabowo, hal ini mencerminkan upaya untuk menunjukkan kesatuan nasional dan meredam perpecahan yang muncul selama kampanye.

2. Kepentingan Nasional: 
Prabowo sering menyatakan bahwa alasan utamanya menerima tawaran menjadi Menteri Pertahanan adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Ia merasa bahwa dalam posisi tersebut, ia dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi keamanan dan pertahanan Indonesia, sesuatu yang sangat relevan dengan latar belakangnya di dunia militer.

3. Stabilitas Pemerintahan: 
Dengan bergabungnya Prabowo, pemerintahan Jokowi mendapatkan dukungan dari oposisi utama, yang berpotensi memperkuat stabilitas politik di dalam negeri. Hal ini juga dapat membantu memastikan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah berjalan lebih mulus tanpa adanya oposisi yang terlalu kuat.

4. Strategi Partai Gerindra: 
Keputusan Prabowo juga dipandang sebagai bagian dari strategi Partai Gerindra untuk tetap relevan dan memiliki pengaruh dalam pemerintahan. Dengan memiliki posisi di kabinet, Gerindra bisa memperkuat posisinya di pemerintahan dan memperluas basis pendukung.

Secara keseluruhan, keputusan Prabowo bergabung dengan kabinet Jokowi merupakan langkah pragmatis yang didasarkan pada rekonsiliasi politik, kepentingan nasional, dan pertimbangan strategis.

Prabowo Subianto bergabung dengan kabinet Jokowi pada tahun 2019 mungkin terinspirasi oleh model rekonsiliasi politik yang pernah terjadi di Amerika Serikat, salah satunya ketika Presiden Abraham Lincoln, setelah terpilih kembali pada tahun 1864, mengajak rival politiknya, Andrew Johnson, sebagai wakil presiden. Langkah ini sering dilihat sebagai upaya untuk memperkuat persatuan nasional di tengah Perang Saudara AS.

Namun, jika yang dimaksud adalah presiden AS yang lebih modern, contoh paling terkenal terjadi pada era Presiden Barack Obama. Setelah memenangkan pemilu 2008, Obama mengajak rivalnya dalam pemilihan presiden, Hillary Clinton, untuk bergabung dalam kabinetnya sebagai Menteri Luar Negeri. Ini adalah langkah yang mencerminkan usaha Obama untuk memperkuat koalisi dan menyatukan pihak-pihak yang sebelumnya berseberangan dalam kampanye.

Jadi, model ini lebih sering dikaitkan dengan Obama-Clinton, meskipun praktik mengajak rival politik untuk bergabung dalam pemerintahan sudah lama ada, termasuk di era Lincoln.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar