(Menarik juga tulisan seseorang)
Begitulah karakter pemilih emosional. Pilihan mereka didasari kekecewaan politik dan subyektivitas terhadap personal. Mereka tak mampu disadarkan lewat realitas politik, sebab perasaan lebih dominan dijadikan pertimbangan daripada landasan strategi dan kalkulasi politik.
Tipe pemilih seperti ini sangat berbahaya. Karena ia bisa digerakkan oleh kekuatan apapun tanpa perlu menimbang dengan jernih dampak dari pilihan-pilihan mereka.
Dalam konteks Pilkada, mereka hanya percaya: semua yang didukung Jokowi atau Prabowo pasti jelek, dan yang didukung Anies pasti baik.
Nalar kritis mereka tumpul saat sudah berhadapan dengan pilihan pujaannya. Sebaliknya, mereka tak dapat melihat dengan jujur bahwa di beberapa daerah, pilihan Jokowi dan Prabowo juga layak didukung.
Mereka tak bisa kritis misalnya, pada "penyimpangan ideologis" Anies. Padahal bukan PKS, justru PDIP-lah yang menjadi penyebab Anies gagal berlayar.
Mereka tak lagi dapat kritis pada adab politik Anies, yang disambangi oleh Presiden PKS tapi tak pernah menyambangi balik.
Mereka tak lagi dapat kritis ketika Anies mengatakan bahwa semua partai tersandera kekuasaan, sementara ia mendukung partai yang selama ini melahirkan dan membesarkan penguasa yang suka menyandera.
Pemilih emosional perlu belajar politik dengan lebih bijak dan dewasa. Bahwa politik itu bukan sinetron Indonesia, yang lakonnya dicinta dan dibenci hanya karena menyakiti atau tersakiti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar