Halo semuanya, dengan dr. Erta, spesialis jantung dan pembuluh darah dari Klinik Utama Kiera.
Setiap kali saya menulis tentang bahaya merokok, pasti ada saja yang membalas dengan komentar klasik: "Merokok mati, nggak merokok juga mati, Dok."
Bahkan ada yang bilang, "Kakek saya ngerokok sampai umur 90 tahun, Dok!" atau "Saya punya tetangga nggak pernah ngerokok, tapi meninggal muda tuh."
Ya, betul. Namanya manusia, memang pada akhirnya semua akan meninggal. Tapi, izinkan saya sebagai dokter bercerita satu hal penting: cara kita meninggal dan bagaimana hidup kita sebelum itu terjadi—itulah yang layak diperjuangkan.
Sebagai spesialis jantung, mayoritas pasien saya itu perokok. Atau mantan perokok. Atau anggota keluarganya yang sering menghirup asap rokok di rumah.
Saya ini bukan dokter yang menghakimi gaya hidup orang, tapi setiap kali saya melihat bagaimana mereka menjalani sisa hidupnya setelah terkena dampak merokok, saya cuma bisa menarik napas panjang. Bukan karena saya lelah, tapi karena saya sedih.
Contohnya, ada pasien saya yang usianya masih 43 tahun. Dulunya tukang bangunan yang kuat angkat-angkat semen.
Tapi setelah kena serangan jantung mendadak, kemampuan jantungnya tinggal 20% dari kondisi normal yang seharusnya di atas 53%.
Dia jadi mudah sesak, naik tangga satu lantai saja sudah ngos-ngosan. Mau kerja fisik nggak sanggup.
Saya bilang, "Kalau nggak bisa kerja fisik, coba kerja yang ringan aja, menulis mungkin? Atau jadi content creator?" Tapi dia jawab, "Saya nggak bisa, Dok. Nggak ada bakat." Akhirnya, istrinya yang kerja. Dia sendiri di rumah, nonton TV sambil mikirin cicilan.
Ada juga pasien saya lain yang datang dengan dua masalah sekaligus: penyakit jantung dan PPOK.
Nah, mungkin banyak yang belum tahu, PPOK itu singkatan dari Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Penyakit ini bikin saluran napas jadi sempit permanen.
Orangnya jadi batuk-batuk terus, napasnya berbunyi 'ngik-ngik', dan gampang banget sesak hanya gara-gara jalan sedikit.
Saking parahnya, pasien ini harus keluar masuk rumah sakit setiap dua bulan. Kontrol ke poli jantung, lalu lanjut ke poli paru. Obatnya segambreng, untungnya ditanggung oleh BPJS.
Belum lagi kalau sesek, harus pakai oksigen di rumah. Hidupnya jadi tergantung selang dan inhaler.
Ada juga pasien yang kena stroke karena kombinasi antara tekanan darah tinggi dan kebiasaan merokok bertahun-tahun.
Otaknya rusak sebagian, separuh badannya lumpuh. Sekarang nggak bisa ngomong dengan jelas. Gerak pun harus dibantu kursi roda.
Dulu kepala keluarga, sekarang jadi tergantung anak dan istri untuk mandi dan buang air. Apakah itu hidup yang diinginkan?
Saya nggak menakut-nakuti, tapi ini realita yang saya temui setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, di ruang praktek saya.
Jadi kalau Anda bilang "nggak merokok juga mati", ya betul. Tapi matinya penuh derita atau tidak, hidup sebelum matinya itu seperti apa, itu beda urusannya.
Merokok mempercepat proses menuju kematian dan memperburuk kualitas hidup sebelum mati.
Dan sering kali, tidak hanya perokok yang jadi korban, tapi juga orang-orang yang mereka cintai yang ikut menderita.
Apalagi kalau si perokok jadi tulang punggung keluarga.
Begitu jatuh sakit, keluarga ikut jatuh secara ekonomi dan psikologis. Istrinya bingung cari uang, anak-anak terbengkalai sekolahnya, belum lagi biaya perawatan jangka panjang.
Semua hanya karena satu batang rokok yang terus dikasih ruang hidup dalam keluarga.
Saya sering bilang ke pasien, "Kalau Anda belum bisa berhenti sekarang, saya masih bisa bantu.
Tapi tolong jangan abaikan." Karena berhenti merokok itu bukan soal kuat atau nggak kuat. Ini soal sayang atau tidak pada diri sendiri dan orang-orang yang Anda cintai.
Jadi, buat Anda yang masih pegang prinsip "merokok mati, nggak merokok juga mati," silakan renungkan satu hal:
Hidup ini bukan cuma tentang panjang atau pendek umur, tapi tentang bagaimana Anda menjalaninya. Dan sebagai dokter, saya ingin Anda hidup sehat, mandiri, dan bahagia sampai usia senja.
Masih sempat kok kalau mau berubah. Jangan tunggu sampai paru-paru hitam dan jantung nyaris berhenti berdetak dulu.
Jangan tunggu sampai satu-satunya suara yang bisa Anda ucapkan cuma desahan napas yang sesak.
Karena kalau sudah sampai titik itu, penyesalan tidak akan bisa mengembalikan kesehatan Anda.
#drerta #klinikkiera #edukasikesehatan #bahayamerokok